Gerakan Perempuan Melawan Penindasan Terhadap Perempuan
Catatan Opini - karya saudara Badiana dan saat ini dia bercerita tentang Gerakan Perempuan jadi dalam masa Demokrasi ini memang banyak peristiwa/kejadian yang sering terjadi dikalangan masayarakat tentunya dalam penindasan terhadap wanita. untuk lebih memahami Artikel opini ini silahkan anda simak dibawah ini.
Beribu tahun sebelum islam, perempuan dipandang tidak memiliki kemanusian yang utuh, dan oleh karenanya perempuan tidak berhak bersuara, berkarya dan berharta. Bahkan, ia di anggap tidak memiliki dirinya sendiri. Islam secara bertahap mengembalikan hak-hak perempuan secara bertahap mengembalikan hak-hak perempuan sebagai manusia merdeka.
Ia berhak menyuarakan keyakinannya, berhak mengaktualisasikan karya, dan berhak memiliki harta yang memungkinkan mereka diakui sebagai warga masyarakat. Ini merupakan gerakan emansipatif yang tiada tara di masa itu.
Kaum perempuan di masa Rasululah digambarkan sebagai perempuan yang aktif, sopan dan terpelihara akhlaknya. Bahkan dalam Al-qur’an fiqur ideal seorang muslimah disimbolkan sebagai pribadi yang memiliki kemandirian dalam berbagai kehidupan. Dianatarnya fiqur Ratu bulqis yang memimpin kerajaan super power dan fiqur perempuan di masa modern yaitu Nyai Ahmad Dahlan yang aktif didunia keagamaan, pendidikan, dan sosial.
Dimana Nyai Ahmad Dahlan mulai memikirkan untuk memperjuangkan hak-hak perempuan, dimulai dengan membuat pengajian untuk kalangan perempuan, tidak hanya diisi dengan pengetahuan tentang agama tetapi juga mengajarkan tentang arti pentingnya pendidikan bagi masyarakat serta mendirikan sebuah organisasi yang merupakan organisasi otonom (ortom) dari Muhammadiyah yaitu Aisyiyah. Nyai Dahlan memberikan pemahaman bahwa perempuan bisa berdaya dan sepadan perannya dengan laki-laki. Aktivitas Nyai Ahmad Dahlan dalam memperjuangkan hak perempuan membuktikan bahwa spirit Islam mampu mendorong kemajuan wanita.
Reproduksi dan produksi kebutuhan hidup adalah penentu gerak sejarah manusia. Sejarah membenarkan bahwa kaum perempuan memiliki peran penting dalam reproduksi dan produksi. Namun, di dalam perkembangannya, mereka malah menjadi manusia yang paling disingkirkan dan didiskriminasi dari produksi, bahkan tak mengenal hak-hak reproduksinya sendiri.
Deskriminasi semakin meluas dalam wujud berbagai bentuk kekerasan terhadap perempuan Menurut Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan, persoalan-persoalan kaum perempuan Indonesia antara lain: perdagangan orang dan eksploitasi prostitusi, kehidupan politik dan publik, partisipasi di tingkat internasional, kewarganegaraan, pendidikan, ketenagakerjaan, kesehatan dan keluarga berencana, manfaat ekonomi dan sosial, perempuan pedesaan, persamaan kedudukan di hadapan hukum, perkawinan dan kehidupan keluarga.
Menurut Susan Blackburn, tema besar persoalan perempuan Indonesia adalah: ideologi jender, negara dan gerakan perempuan, pendidikan, perkawinan usia dini, kewarganegaraan, poligami, peribuan, pelecehan dan kekerasan seksual, pembedaan lapangan pekerjaan dan perlakuan di tempat kerja bahkan, dalam bidang pekerjaan yang sama pun, perempuan ada yang dibedakan upahnya, asumsi bahwa derajat laki-laki lebih tinggi dari pada perempuan. Ini merupakan sebuah daftar penindasan terhadap perempuan yang seharusnya immawati tidak diam dan tertidur lelap melihat beberapa daftar penindasan terhadap perempuan.
Lewis H. Morgan dan Frederick Engels adalah dua ilmuwan besar yang memberikan sumbangan luar biasa untuk memahami dasar-dasar pemikiran mengenai akar penyebab penindasan terhadap perempuan. Morgan, dalam bukunya Ancient Society, yang terbit tahun 1877, menyatakan “fakta bahwa institusi pokok di dalam masyarakat beradab yaitu keluarga, pemilikan pribadi, dan negara.
Terbukti tidak pernah eksis di dalam kehidupan pra sejarah.” Dalam masa-masa pra-sejarah, ketika sistem produksi peternakan hewan ditemukan oleh komunitas kesukuan, peningkatan kemakmuran dan status sosial hanya diperoleh oleh laki-laki. Hal tersebut disebabkan karena kaum lelaki-lah yang menjalankan dan menguasai kegiatan peternakan tersebut. Sumbangan kaum lelaki terhadap kesejahteraan komunitas kesukuan tersebut malahan menyebabkan kaum perempuan tersingkir dari produksi sosial, digantikan dengan tugas-tugas perempuan tradisional, yakni menyiapkan makanan dan mengerjakan kerajinan tangan.
Kaum perempuan yang sudah menyadari adanya ketidaksetaraan jender seringkali terjebak pada pilihan-pilihan jalan keluar yang salah, yang malah semakin menjerumuskannya lebih dalam ke jurang penindasan. Akibat tak memahami akar penyebab penindasannya, kaum perempuan cenderung berpuas dengan kesetaraan yang formal dan tidak hakiki, atau celakanya bahkan sampai memerangi makhluk laki-laki yang dianggapnya sebagai penyebab segala kesengsaraannya di dunia.
Masyarakat sudah cukup terlena dan salah kaprah bahwa laki-laki berkuasa atas perempuan. Didalam rumah tangga hal tersebut terwujud dalam anggapan bahwa perempuan yang sudah berstatus sebagai istri sepenuhnya telah menjadi milik suami. Jika istri melakukan kesalahan dalam pandangan suami seolah-olah menjadi kewajiban suami untuk segera mengingatkannya. Peringatan itu diberikan sebagai bentuk pengajaran suami terhadap istri dalam rangka pembinaan rumah tangga.
Namun kadang bentuk-bentuk pengajaran melebihi batas, karena sering mengarah pada tindakan kekerasan. Oleh karena itu, seakan menjadi sebuah kewajan didalam masyarakat terjadi kasus istri ditempeleng dan ditendang. Kekerasan tidak hanya dialami oleh perempuan berstatus istri yang dilakukan rumah tangga, kekerasan bisa terjadi dimana saja misalnya tempat kerja, tempat umum, sekolah. Tindakan kekerasan yang paling sering terjadi adalah pemerkosaan. Pemerkosaan menjadi mimpi buruk bagi setiap perempuan.
Kenyataan sosial yang mengasumsikan perempuan adalah lemah dan berada di bawah perlindungan laki-laki. Ini bukan sebuah hal yang mengherankan sebab kaum perempuan sendiri sering kali pasrah bahkan menginternalisasi anggapan bahwa ketidaksetaraan jender adalah takdir biologisnya sebagai perempuan. Inilah yang disebut kesadaran palsu yang celakanya, sekarang ini, paling luas diderita oleh perempuan.
Jikalau ketidaksetaraan jender memang takdir biologis, maka begitu celakanya makhluk manusia yang bernama perempuan ini. Bahkan makhluk binatang berkelamin betina saja memiliki kesetaraan secara alamiah, mengapa tidak demikian halnya dengan makhluk manusia yang berakal budi dan paling sempurna ini? Itulah pandangan filosofis tentang ketidaksetaran jender yang mendominasi kesimpulan sejarah perkembangan masyarakat manusia (lelaki dan perempuan).
Dan sesungguhnya, seiring kemajuan kerja dan daya pikir manusia, maka berbagai bukti ilmiah yang sanggup dipertanggungjawbkan sudah dapat memberikan bukti bahwa posisi ketidaksetaraan jender bukan-lah takdir biologis kaum perempuan; bahwa, dalam fase awal perkembangan masyarakat manusia, berbagai bukti menunjukkan: (manusia) perempuan dilahirkan dan hidup setara, bahkan menjadi sumber penghidupan manusia.
Islam yang diyakini pemeluknya sebagai Rahmatan lil alamin ( agama yang menebarkan rahmat bagi alam semesta) salah satu bentuk rahmat itu adalah pengakuan islam terhadap keutuhan kemanusian perempuan setara dengan laki-laki. Islam mengakui adanya perbedaan biologis antara perempuan dan laki-laki. Akan tetapi, secara tegas islam melarang menjadikan perbedaan itu sebagai alasan untuk menutamakan salah satu pihak ( laki-laki atau perempuan) dan merendahkan pihak lainnya.
By : IMMAWATY BADIANA
Facebook : IMMAWATY BADIANA

Gerakan Perempuan Melawan Penindasan Terhadap Perempuan
Beribu tahun sebelum islam, perempuan dipandang tidak memiliki kemanusian yang utuh, dan oleh karenanya perempuan tidak berhak bersuara, berkarya dan berharta. Bahkan, ia di anggap tidak memiliki dirinya sendiri. Islam secara bertahap mengembalikan hak-hak perempuan secara bertahap mengembalikan hak-hak perempuan sebagai manusia merdeka.
Ia berhak menyuarakan keyakinannya, berhak mengaktualisasikan karya, dan berhak memiliki harta yang memungkinkan mereka diakui sebagai warga masyarakat. Ini merupakan gerakan emansipatif yang tiada tara di masa itu.
Kaum perempuan di masa Rasululah digambarkan sebagai perempuan yang aktif, sopan dan terpelihara akhlaknya. Bahkan dalam Al-qur’an fiqur ideal seorang muslimah disimbolkan sebagai pribadi yang memiliki kemandirian dalam berbagai kehidupan. Dianatarnya fiqur Ratu bulqis yang memimpin kerajaan super power dan fiqur perempuan di masa modern yaitu Nyai Ahmad Dahlan yang aktif didunia keagamaan, pendidikan, dan sosial.
Dimana Nyai Ahmad Dahlan mulai memikirkan untuk memperjuangkan hak-hak perempuan, dimulai dengan membuat pengajian untuk kalangan perempuan, tidak hanya diisi dengan pengetahuan tentang agama tetapi juga mengajarkan tentang arti pentingnya pendidikan bagi masyarakat serta mendirikan sebuah organisasi yang merupakan organisasi otonom (ortom) dari Muhammadiyah yaitu Aisyiyah. Nyai Dahlan memberikan pemahaman bahwa perempuan bisa berdaya dan sepadan perannya dengan laki-laki. Aktivitas Nyai Ahmad Dahlan dalam memperjuangkan hak perempuan membuktikan bahwa spirit Islam mampu mendorong kemajuan wanita.
Reproduksi dan produksi kebutuhan hidup adalah penentu gerak sejarah manusia. Sejarah membenarkan bahwa kaum perempuan memiliki peran penting dalam reproduksi dan produksi. Namun, di dalam perkembangannya, mereka malah menjadi manusia yang paling disingkirkan dan didiskriminasi dari produksi, bahkan tak mengenal hak-hak reproduksinya sendiri.
Deskriminasi semakin meluas dalam wujud berbagai bentuk kekerasan terhadap perempuan Menurut Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan, persoalan-persoalan kaum perempuan Indonesia antara lain: perdagangan orang dan eksploitasi prostitusi, kehidupan politik dan publik, partisipasi di tingkat internasional, kewarganegaraan, pendidikan, ketenagakerjaan, kesehatan dan keluarga berencana, manfaat ekonomi dan sosial, perempuan pedesaan, persamaan kedudukan di hadapan hukum, perkawinan dan kehidupan keluarga.
Menurut Susan Blackburn, tema besar persoalan perempuan Indonesia adalah: ideologi jender, negara dan gerakan perempuan, pendidikan, perkawinan usia dini, kewarganegaraan, poligami, peribuan, pelecehan dan kekerasan seksual, pembedaan lapangan pekerjaan dan perlakuan di tempat kerja bahkan, dalam bidang pekerjaan yang sama pun, perempuan ada yang dibedakan upahnya, asumsi bahwa derajat laki-laki lebih tinggi dari pada perempuan. Ini merupakan sebuah daftar penindasan terhadap perempuan yang seharusnya immawati tidak diam dan tertidur lelap melihat beberapa daftar penindasan terhadap perempuan.
Lewis H. Morgan dan Frederick Engels adalah dua ilmuwan besar yang memberikan sumbangan luar biasa untuk memahami dasar-dasar pemikiran mengenai akar penyebab penindasan terhadap perempuan. Morgan, dalam bukunya Ancient Society, yang terbit tahun 1877, menyatakan “fakta bahwa institusi pokok di dalam masyarakat beradab yaitu keluarga, pemilikan pribadi, dan negara.
Terbukti tidak pernah eksis di dalam kehidupan pra sejarah.” Dalam masa-masa pra-sejarah, ketika sistem produksi peternakan hewan ditemukan oleh komunitas kesukuan, peningkatan kemakmuran dan status sosial hanya diperoleh oleh laki-laki. Hal tersebut disebabkan karena kaum lelaki-lah yang menjalankan dan menguasai kegiatan peternakan tersebut. Sumbangan kaum lelaki terhadap kesejahteraan komunitas kesukuan tersebut malahan menyebabkan kaum perempuan tersingkir dari produksi sosial, digantikan dengan tugas-tugas perempuan tradisional, yakni menyiapkan makanan dan mengerjakan kerajinan tangan.
Kaum perempuan yang sudah menyadari adanya ketidaksetaraan jender seringkali terjebak pada pilihan-pilihan jalan keluar yang salah, yang malah semakin menjerumuskannya lebih dalam ke jurang penindasan. Akibat tak memahami akar penyebab penindasannya, kaum perempuan cenderung berpuas dengan kesetaraan yang formal dan tidak hakiki, atau celakanya bahkan sampai memerangi makhluk laki-laki yang dianggapnya sebagai penyebab segala kesengsaraannya di dunia.
Masyarakat sudah cukup terlena dan salah kaprah bahwa laki-laki berkuasa atas perempuan. Didalam rumah tangga hal tersebut terwujud dalam anggapan bahwa perempuan yang sudah berstatus sebagai istri sepenuhnya telah menjadi milik suami. Jika istri melakukan kesalahan dalam pandangan suami seolah-olah menjadi kewajiban suami untuk segera mengingatkannya. Peringatan itu diberikan sebagai bentuk pengajaran suami terhadap istri dalam rangka pembinaan rumah tangga.
Namun kadang bentuk-bentuk pengajaran melebihi batas, karena sering mengarah pada tindakan kekerasan. Oleh karena itu, seakan menjadi sebuah kewajan didalam masyarakat terjadi kasus istri ditempeleng dan ditendang. Kekerasan tidak hanya dialami oleh perempuan berstatus istri yang dilakukan rumah tangga, kekerasan bisa terjadi dimana saja misalnya tempat kerja, tempat umum, sekolah. Tindakan kekerasan yang paling sering terjadi adalah pemerkosaan. Pemerkosaan menjadi mimpi buruk bagi setiap perempuan.
Kenyataan sosial yang mengasumsikan perempuan adalah lemah dan berada di bawah perlindungan laki-laki. Ini bukan sebuah hal yang mengherankan sebab kaum perempuan sendiri sering kali pasrah bahkan menginternalisasi anggapan bahwa ketidaksetaraan jender adalah takdir biologisnya sebagai perempuan. Inilah yang disebut kesadaran palsu yang celakanya, sekarang ini, paling luas diderita oleh perempuan.
Jikalau ketidaksetaraan jender memang takdir biologis, maka begitu celakanya makhluk manusia yang bernama perempuan ini. Bahkan makhluk binatang berkelamin betina saja memiliki kesetaraan secara alamiah, mengapa tidak demikian halnya dengan makhluk manusia yang berakal budi dan paling sempurna ini? Itulah pandangan filosofis tentang ketidaksetaran jender yang mendominasi kesimpulan sejarah perkembangan masyarakat manusia (lelaki dan perempuan).
Dan sesungguhnya, seiring kemajuan kerja dan daya pikir manusia, maka berbagai bukti ilmiah yang sanggup dipertanggungjawbkan sudah dapat memberikan bukti bahwa posisi ketidaksetaraan jender bukan-lah takdir biologis kaum perempuan; bahwa, dalam fase awal perkembangan masyarakat manusia, berbagai bukti menunjukkan: (manusia) perempuan dilahirkan dan hidup setara, bahkan menjadi sumber penghidupan manusia.
Islam yang diyakini pemeluknya sebagai Rahmatan lil alamin ( agama yang menebarkan rahmat bagi alam semesta) salah satu bentuk rahmat itu adalah pengakuan islam terhadap keutuhan kemanusian perempuan setara dengan laki-laki. Islam mengakui adanya perbedaan biologis antara perempuan dan laki-laki. Akan tetapi, secara tegas islam melarang menjadikan perbedaan itu sebagai alasan untuk menutamakan salah satu pihak ( laki-laki atau perempuan) dan merendahkan pihak lainnya.
By : IMMAWATY BADIANA
Facebook : IMMAWATY BADIANA
0 Komentar
Berkomentarlah Secara Bijak dan Sopan, No Sara No Spam, Tidak Di Izinkan Untuk Komentar Iklan, Jadilah Netter yang Baik